Selasa, 19 Februari 2013

ketentuan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERZINAHAN

(Diambil dari Tugas Pilitik Hukum Pidana)
Fajar Romy Gumilar**
A.Kedudukan Perzinahan Dalam Pasal 284 KUHP
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a.yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 – 283);
b.zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
c.perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d.yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
e.memabukkan (Pasal 300);
f.menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g.penganiayaan hewan (Pasal 302);
h.perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
b.yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c.yang berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544);
d.meramal nasib atau mimpi (Pasal 545);
e.menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
f.memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan- kepatutan di bidang seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.1
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan2. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh, pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.3 Sedangkan permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan tindak pidana menurut KUHP, yaitu :
1.dua orang yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a.Perbupatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b.Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c.Berakibat hamilnya wanita itu dan lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk nikah menurut undang-undang;
2.Seorang laki-laki telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan) tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3.Seorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan kesusilaan/moral masyarakat setempat
B.Kebijakan Hukum Pidana Bagi Perzinahan
Dalam RUU KUHP (Konsep KUHP) mungkin akan membawa perubahan besar. Hakim tidak harus selalu berpegang erat pada undang-undang lagi. Hukum adat bisa diadopsi sebagai pidana pokok dalam putusan. Walaupun dalam konsep KUHP kita masih berpegang teguh pada asas legalitas yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan” tetapi dalam ayat 3 menyebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan” yang kemudian diterangkan dalam ayat (4) sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat dunia.
Dari penjelasan diatas bisa kita tarik pernyataan bahwa perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan tapi bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat (nilai-nilai yang ada dalam masyarakat) bisa saja dijerat pidana. Salah satunya adalah berhubungan intim di luar ikatan perkawinan yang sah atau zina.
Zina pada hakekatnya adalah melakukan hubungan badan di luar nikah. sayangnya dalam pasal 284 KUHP yang berlaku sekarang mengalami penyempitan makna menjadi zina hanya dilakukan oleh orang yang salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain. Tetapi seperti kita tahu bahwa pasal tersebut masih kurang pas dalam penerapannya di masyarakat
Indonesia karena dalam pasal tersebut masih amat sempit pengertian dan pemahamannya tentang zina. Menurut hukum yang hidup dimasyarakat adalah hubungan badan diluar nikah, baik yang salah satunya terikat tali perkawinan atau keduanya belum teriakat.
Dalam pemikiran masyarakat pada umumnya zina yang diterangkan dalam KUHP kita hanya menjerat orang melakukan zina jika salah satunya terikat tali perkawinan, berarti jika orang yang melakukan zina yang keduanya belum memiliki tali perkawinan maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Lagipula, pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan itu dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan(suami atau istri yang dikhianati pasangannya)
Pandangan inilah yang seharusnya diubah dalam kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana zina, Walaupun konsep KUHP belum rampung diketok oleh badan legislatif dan legalitas formal kita pun belum diatur secara jelas, toh kita bisa menggunakan asas legalitas materiil yang memungkinkan seorang hakim hanya mendasarkan hukum yang tertulis saja tetapi hukum yang hidup dimasyarakatpun bisa dipakai menjadi dasar.4
Melalui pemikiran ahli hukum yang progresif bukan tidak mungkin asas legalitas materiil di Indonesia berubah menjadi hukum yang diakui Negara dan diundang-undangkan sebagai hukum positif. Perlu adanya ketegasan dari aparat penegak hukum untuk tercapainya tujuan ini dan menjadikan hukum pidana
Indonesia sebagai alat penanggulangan kejahatan5 termasuk zina. Kita tidak melulu memandang KUHP adalah aturan yang absolute bagi hukum pidana, karena penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”.6
Zina bisa dijadikan tindak pidana dan dalam arti melakukan hubungan badan di luar nikah. Yang mengacu pada hukum yang hidup di masyarakat dan dilakukan dengan legalitas materiil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar